blogs/VXIiWC0ooJSv1uLbeHh7u8Es5ObNX6a3afHAkPBi.jpg
Komisi Yudisial (KY) menerima kunjungan dari para peserta pelatihan Residensi Jurnalis Antikorupsi yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII) di Ruang Pers KY, Jakarta pada Kamis (11/8).

Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) menerima kunjungan dari para peserta pelatihan Residensi Jurnalis Antikorupsi yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII) di Ruang Pers  KY, Jakarta pada Kamis (11/8). Rombongan yang dikoordiniir oleh Wawan Suyatmiko selaku Deputy Secretary General TII disambut langsung oleh Juru bicara KY Miko Ginting.

 

Wawan menjelaskan bahwa kedatangan mereka terkait rangkaian pelatihan jurnalisme dan upaya peningkatan kapasitas para jurnalis serta tambahan kompetensi bagi wartawan terutama di bidang hukum dan peradilan.

 

“Sehingga pada akhir pelatihan akan ada penyusunan laporan pemberitaan terkait bidang hukum dan peradilan yang nantinya kita bisa peroleh hasil yang sesuai dengan harapan tadi," ucap Wawan.

 

Selain itu, Wawan juga berharap agar KY bersedia untuk menginformasikan terkait kinerja dan tugas pokok dari KY dan memberikan masukan saat nantinya para wartawan ini sudah mengeluarkan kemampuan untuk memonitoring peradilan di Indonesia.

 

Selanjutnya, Miko menjelaskan bahwa KY tidak bisa dilepaskan dari dinamika gerakan masyarakat sipil yang dibentuk melalui amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945) yang suasananya mewujudkan gerakan masyarakat sipil yang berlembaga bernama Komisi Yudisial.

 

“KY hadir karena ada kebutuhan untuk mendorong adanya independensi dari peradilan yang bermakna bahwa peradilan itu kebal terhadap intimidasi dan iming-iming," jelas Miko.

 

Lebih lanjut Miko mengatakan bahwa sering terjadi distorsi di mana independensi seakan-akan merupakan keistimewaan dari hakim. Independensi yang sebenarnya adalah tanggung jawab bahwa hakim harus memutus hanya berdasarkan hukum dan keadilan untuk bebas dari tekanan dalam memutus suatu perkara.

 

Selain itu, ketika reformasi terdapat pemikiran untuk menjadikan bahwa Mahkamah Agung (MA) menjadi lembaga independen yang otonom yang menguasai teknis yudisial termasuk administrasi dan sumber daya manusia. Namun apakah cukup pengawasan yang juga melekat pada badan itu sendiri terutama dengan berbagai spektrum kekuasaan yang cukup tinggi.

 

“Karena begitu sentralnya fungsi peradilan dan menjaga keseimbangan kekuasaan maka perlu didirikan lembaga yang melakukan pengawasan, maka dihadirkanlah KY," pungkas Miko. (KY/Yandi/Festy)